Wednesday, January 17, 2018

Menjelajahi Taman Hutan Raya (Tahura) dan Tebing Kraton, Bandung

Rasanya Bandung tak pernah habis memberi banyak pilihan wisata. Kali ini saya mengunjungi sebuah kawasan hutan wisata yang tak jauh dari kota Bandung, Taman Hutan Raya atau biasa dikenal dengan nama Tahura (THR) Djuanda. Taman Hutan Raya Djuanda ini terletak di wilayah Dago Pakar dan merupakan kawasan konservasi yang terpadu antara alam sekunder dengan hutan tanaman dengan luas 590 hektar yang membentang dari Dago Pakar sampai ke Maribaya, Lembang. Dengan tiket masuk yang masih sangat terjangkau, Tahura Djuanda berada di ketinggian 800 sampai 1.350 meter diatas permukaan laut, sehingga udara yang sejuk dan segar pun sangat terasa disini. Memasuki pintu gerbang, saya disambut pemandangan jejeran pohon pinus yang menjulang tinggi. 


Tak jauh dari pintu masuk terdapat sebuah monumen Ir. H. Djuanda yang namanya digunakan untuk menamai kawasan hutan ini sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa beliau bagi Indonesia. Di depan monumen, berdiri sebuah museum kecil sebagai pusat informasi mengenai jenis satwa dan tumbuhan yang terdapat di kawasan Tahura. Selain itu, museum ini juga menyimpan artefak-artefak kuno yang ditemukan pada zaman purba. Sayangnya, museum ini minim cahaya. 




Keluar dari museum, saya lalu melanjutkan perjalanan menuju Gua Jepang dan Belanda, Penangkaran Rusa dan beberapa curug dengan bantuan papan petunjuk yang sudah terpasang di beberapa lokasi. Setelah berjalan kurang lebih 200 meter gw sampai di Gua Jepang. Gua peninggalan tentara Jepang di masa penjajahan ini konon digunakan sebagai tempat persembunyian dan penyimpanan amunisi yang terdiri dari beberapa pintu gua yang bisa kita masuki. Diluar gua ada beberapa orang pemandu jasa yang akan membantu menuntun kita selama berada di dalam gua disertai senter penerangan karena kondisi gua yang sangat gelap. Gw dan Rega menyempatkan diri untuk menyusuri gua ini dengan bantuan seorang pemandu. Di dalam gua ternyata hawanya cukup sejuk karena lorong-lorongnya terdapat ventilasi udara. Kondisi gua masih terawat dengan dinding yang terbuat dari batu dan terlihat banyak kelelawar bergantung di atas gua. Selesai menelusuri Gua Jepang selama 15 menit, gw berjalan menuju Gua Belanda sekitar 400 meter. Di masa kependudukan Belanda, gua ini berfungsi untuk keperluan saluran air bagi pembangkit listrik tenaga air pertama di Indonesia yaitu PLTA Bengkok, dan untuk kegiatan militer serta pusat telekomunikasi. Gua Belanda tampak lebih tertata bila dibandingkan Gua Jepang. Hal ini dapat dilihat dari pintu gerbangnya dan juga terowongan di dalamnya yang sudah dilapisi semen. Di area gua ini juga terdapat beberapa orang pemandu seperti di Gua Jepang. Di dalam Gua Belanda, terdapat ruangan-ruangan khusus yang digunakan untuk ruang interogasi dan penjara.



Dari Gua Belanda saya lanjut berjalan di jalur trekking yang dibangun sepanjang 6 kilometer dengan rute Tahura – Maribaya. Jalur ini biasa digunakan pengunjung untuk berekreasi serta berolahraga lintas alam sembari menikmati pemandangan pegunungan dan hijaunya pepohonan. Udara yang sejuk, suara serangga dan kicauan burung turut memberi sensasi ketenangan yang menyenangkan selama saya berada disini. Saya juga melihat beberapa ekor monyet yang meloncat-loncat diatas pohon. Setelah satu jam berjalan, terdapat papan petunjuk untuk menuju lokasi penangkaran. Saya memutari sebuah jembatan bendungan PDAM, sebelum sampai ke Penangkaran Rusa. Siang itu rusa-rusa sedang makan dan saya sama Rega diperbolehkan ikut memberi makanan kawanan rusa itu. Di dekat pagar, ada sebuah papan berisi informasi mengenai keistimewaan rusa dan juga himbauan untuk turut melestarikan rusa agar tidak punah.



Setelah selesai melihat rusa, saya berencana melihat beberapa curug (air terjun) yang terdapat di Tahura seperti Curug Koleang, Curug Dago, Curug Lalay dan Curug Omas. Namun karena kondisi cuaca yang mendung dan sempat hujan, jalanan menuju curug sangat licin dan curam jadi saya memutuskan untuk mengunjungi Curug Omas saja yang terletak di dekat pintu keluar Maribaya. Saya pun kembali berjalan menyusuri jalur track yang bisa dibilang cukup menantang karena jalur yang naik turun dan sedikit terjal. Saya melihat di beberapa titik jalur tersebut kondisinya rusak. Memang terdapat jasa ojek yang melintas hilir mudik di area ini.



Curug Omas Maribaya
Setelah sempat beristirahat sebentar di pondok makanan kecil-yang cukup banyak berada di sepanjang perjalanan, akhirnya saya tiba di Curug Omas. Saya pun dibuat takjub dengan pemandangan air terjun dengan tinggi sekitar 25 meter dan debit air yang mengalir deras. Untuk bisa memotret curug, saya berdiri diatas jembatan yang berada persis di depan curug. Jembatan ini juga dilengkapi kawat pembatas sebagai pagar pengaman. Setelah puas melihat curug Omas, Saya berjalan lagi menuju pintu keluar kurang lebih 200 meter. Setelah sampai di luar terdapat kios yang menjual souvenir dan kaktus yang bisa kita beli sebagai oleh-oleh.


Tebing Keraton
Kawasan Tebing Keraton sebenarnya masih masuk area Tahura Djuanda. Namun, untuk menuju kesini kita masih harus menggunakan kendaraan lagi dari pintu masuk Tahura. Bila menggunakan mobil, terdapat area parkir yang disediakan khusus mengingat 100 meter sebelum sampai di lokasi tebing, jalannya berbatu dan menanjak. Kita juga bisa menggunakan jasa ojek yang bisa mengantar pulang-pergi. Setelah melewati pintu gerbang, gw masih harus trekking sedikit untuk sampai di tebingnya. Saya pun sampai di Tebing Keraton bertepatan dengan terbenamnya matahari. Meski terhalang gunung, pemandangannya luar biasa menakjubkan. Perpaduan cahaya senja, pegunungan hijau yang luas, dan iringan kabut putih menjadi tampilan yang sempurna untuk menutup hari.






No comments: