Monday, October 3, 2011

Perempuan must be strong!!!

Saya seorang perempuan berumur 23 tahun. Kata orang sih gaya saya tidak menunjukkan layaknya seorang perempuan, cuma karna saya tidak pernah pakai rok, tidak bisa memasak, tidak bermake up tebal, rambut saya pendek, selalu pakai kaos oblong dan selalu warna hitam, selalu pakai sepatu kets, dll. Saya jadi bingung, sebenarnya apa sih PEREMPUAN itu? Apakah untuk menunjukkan keperempuan itu harus ditunjukkan dengan hal2 seperti itu? Sejauh ini saya Cuma percaya satu hal, bahwa yang membedakan perempuan dan laki-laki adalah perbedaan secara biologis, di luar itu sama saja. Emangnya laki-laki ga boleh pake rok? Kalau dia mau pake, kenapa engga? Saya ga suka bermake up tebal, bukan karena saya ”gak perempuan” tapi karena emang saya belum suka bermake up tebal, paling juga bedak tipis. Rambut saya pendek, tentunya saya gak suka dengan rambut panjang, selain gerah, bisa hemat sampo juga. Saya selalu pake sepatu kets, selain karena tempat saya bekerja mengharuskan saya memakai sepatu kets, pakai sepatu hak itu bikin pegel, saya pernah coba, ughh ga enak banget, paling-paling kalo kondangan doang, itu juga pinjem sepatu temen yang model sepatu balet tanpa hak, makanya saya paling gak suka kondangan, karena suka terbentur harus pake baju apa or sepatu apa? La wong baju saya kaos semua, saya tuh gak suka baju2 formal, saya aja kerja pake kaos berkerah, ato pake kemeja tapi tetep ga dikancing, karena pake kaos didalamnya. Dan yang paling saya benci adalah ketika orang-orang tahu saya gak bisa masak, semua orang seakan menyalahkan saya ”Masa perempuan ga bisa masak?”. Ibu saya pun berkata demikian. Susah sekali memberi pengertian pada mereka, bahwa semua orang tuh butuh makan, jadi gak cewe gak cowo harusnya bisa masak, tapi nyatanya tetep aja perempuan mulu yang harus ”dipaksa” untuk bisa masak. Lagian siapa bilang saya gak bisa masak, waktu jagain nenek saya yang ditinggal sendirian, saya masakin sayur kok buat beliau, meski Cuma sayur kacang merah dan bayam. Yang ga kalah aneh adalah, ketika saya sisiran, semua orang heran sambil bilang ”Wah ternyata lu nyisir juga yah?”, entah saya harus marah atau tertawa mendengarnya. Kesemua diatas adalah hal-hal kecil yang masih aja dipertahanin sampe sekarang, bentuk konstruksi sosial yang sangat merugikan karena membuat stereotype negatif bagi perempuan.
Saya pernah KKN di daerah kudus, teman-teman kelompok saya terdiri dari 4 orang perempuan dan 2 orang laki-laki, dan kami numpang tinggal di rumah kepala desanya. Ketika kami selesai makan siang, satu orang temen laki-laki saya mau ngangkat piring dan hendak mencucinya, langsung dilarang oleh ”si mbah” (nenek, red), ”Eh, anak cowo jangan nyuci piring, biarin aja nih yang cewe2 yang nyuci”. Seketika itu saya langsung pergi, kesal dengan pernyataan itu. Saya cerita sama dosen saya tentang hal itu, betapa saya menentang kesenjangan gender seperti itu dan seperti yang saya duga dia sangat tidak setuju dengan berkata (sambil ketawa), ”Kalo gitu, perempuan yang di Bali gimana, kan banyak yang jadi kuli? ”. Saya berusaha menjelaskan pernyataan saya, tapi seperti kebanyakan dosen yang enggan ”membenarkan” pernyataan mahasiswanya, perdebatan kami berakhir dengan mengganti topik pembicaraan. Dan saya pun baru sadar, tempat saya tinggal adalah sebuah desa, memang sih masih asli pemandangan dan kegiatan bertani/beternak mereka, hanya saja kultur patriarki masih sangat kental disini. Anak perempuan seusia saya bila belum menikah sudah dibilang perawan tua. Ternyata itu sebabnya saya lihat seorang gadis yang saya perkirakan usianya masih 14 tahun, sudah menggendong bayi, sungguh miris rasanya melihat gadis seusianya sudah harus mengurus anak, yang harusnya pada usia segitu dia masih bersekolah, bermain dengan teman-teman sebayanya, belum lagi resiko tinggi akan kegagalan saat melahirkan karena kondisi reproduksi yang belum siap/matang. Perempuan benar-benar hanya pengurus sumur, dapur dan kasur. Sudah bisa dipastikan perempuan disana tidak ada yang berpendidikan tinggi, karena pikiran ”Ngapain anak perempuan sekolah tinggi –tinggi, toh jatuhnya ke dapur juga”, dikawinin dengan lelaki lain yang bahkan usianya sangat jauh antara 10 – 20 tahun. Itu baru satu desa, ga kebayang desa lainnya yang mungkin kondisinya jauh lebih menyedihkan.

Saat ini saya bekerja di sebuah pabrik sepatu yang jumlah pekerja perempuannya mencapai 80% dari total keseluruhan karyawan (sekarang total 4000-an). Saya ngekos dekat dengan pabrik, tentu aja sering ketemu karyawan saya sendiri. Suatu hari pernah ketemu seorang perempuan yang juga karyawan saya, kami bertemu di sebuah warung nasgor.
Saya : ”Beli nasgor mbak?”
Ibu : ”Iya mbak, saya ga masak, capek banget pulang kerja saya langsung tidur, makanya beli nasgor aja deh biar gampang.”
Saya tertegun, sungguh malang nasib perempuan di daerah pabrik saya ini. Banyak sekali ibu-ibu disini yang menjadi sumber utama penghasilan keluarga, karena sang suami seorang pengangguran. Dengan jumlah upah UMK sebesar 1.285.000, mereka harus pintar-pintar memakai uang untuk kebutuhan seluruh keluarga, menyekolahkan anak-anak, membeli sembako, belum lagi kalo anak pengen baju baru, mainan baru, beli susu bayi, dsb. Ditambah lagi pekerjaan rumah mereka yang ”harus” mereka kerjakan, seperti memasak, mencuci baju dan piring, mengepel, menyapu. Lalu dimana suami mereka? Saya gak habis pikir, itu para suami gak kasian apa yah liat istri pulang kerja capek, kalo gak masak diomelin, ngeliat istri nyuci gak dibantuin, trus kalo si suami ”minta jatah” ditempat tidur, si istri mau gak mau harus ”melayani”. Trus kerjaan si suami ngapain dong? Terima duit doang yak? Setidaknya sadar diri kek, udah pengangguran, bagi-bagi tugas lah dalam ngurusin rumah, jangan terus-menerus istri yang dibebanin pekerjaan rumah tangga. Udah kayak gitu malah selingkuh pula atau malah jadiin istrinya korban KDRT, aslina miris banget nasib perempuan kalau udah begini ceritanya.

Saya memang bukan superhero, tapi saya pengen banget ngeliat para perempuan di Indonesia menjadi seseorang yang merdeka, seseorang yang mampu berjuang untuk kepentingan mereka sendiri, jangan terus menerus mengalah atau pemikiran altruistik (berkorban untuk orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri), melawan dan kuat terhadap segala konstruksi sosial dan budaya patriarki yang melekat di masyarakat kita, contohnya yang sekarang jadi headlines : tindak kejahatan pemerkosaan. Nah, ngomong-ngomong soal aksi kejahatan yang marak terjadi akhir-akhir ini, pemerkosaan yang udah jelas korbannya perempuan, namun bukannya memberi dukungan atau upaya untuk memulihkan korban, tapi malah statement yang dilontarkan oleh seorang pejabat DKI Jakarta-Foke, justru semakin memperparah kondisi mental para perempuan korban akibat statementnya yang menyalahkan korban. Para perempuan disuruh untuk memperbaiki cara berpakaian perempuan di ruang publik dengan bahasa yang diperhalus ”jangan memakai rok mini yang dapat mengundang kejahatan pemerkosaan”, tanpa sedikit pun mempersoalkan pelaku yang umumnya laki-laki untuk menahan nafsu birahi mereka. Dari sini sudah jelas, bentuk dominan kekuasaan laki-laki yang tidak mau disalahkan, untuk kesekian kalinya perempuan dijadikan korban. Hal ini bisa menjadikan para perempuan yang jadi korban enggan bicara karena statement menyalahkan tersebut dan malah membuat pelaku pemerkosaan semakin leluasa, karena tidak adanya hukum yang dapat menjerat mereka. Dari data Komnas Perempuan mencatat 3.753 kasus kekerasan yang terjadi di seluruh Indonesia dan data Kepolisian Daerah Metro Jaya tahun 2011 terdapat 41 perempuan korban pemerkosaan. Mungkin kalian juga setuju bahwa tindakan pemerkosaan adalah tindak kejahatan yang paling keji, karena dapat menghancurkan harga diri serta martabatnya sebagai manusia. Dan yang paling menyedihkan, apabila para korban justru dikucilkan atau bahkan diusir dari lingkungan masyarakat, tidak mendapat dukungan keluarga, sehingga tidak jarang para korban merahasiakan kasus yang menimpanya atau bahkan memutuskan mengakhiri hidup mereka aka bunuh diri. 

Pernyataan Foke membuktikan bahwa pemerintah telah gagal dalam melindungi dan memberikan kenyamanan di ruang publik bagi masyarakat khususnya perempuan. Meski Foke telah meminta maaf, tapi tetap ucapannya yang terlontar pertama kali sudah menggambarkan bagaimana cara dia memandang perempuan. Foke seharusnya mikir bahwa perempuan baik yang pakai rok mini, pake daster saat tidur, pakai jilbab (teman saya yang berjilbab pernah jadi korban pelecehan seksual), atau pake cadar sekalipun bisa menjadi korban kejahatan seksual. Pakaian apapun yang perempuan pakai kalo dari laki-lakinya tidak bisa menahan nafsunya, kejahatan seksual akan tetap terjadi. Itu artinya CARA BERPAKAIAN TIDAK MENJAMIN SEORANG PEREMPUAN TERBEBAS DARI TINDAK KEJAHATAN SEKSUAL. Yang saya heran, pemerintah tidak pernah jujur dalam menyatakan kesalahan mereka. Orang-orang yang ada di kursi pemerintah itu kan para sarjana atau bahkan master, seharusnya mereka berani untuk menyatakan kesalahan mereka bahwa mereka telah gagal. Entah karena nama baik yang bakal tercoreng atau bahkan ketakutan hilangnya kepercayaan masyarakat sehingga takut gak kepilih kalo nanti nyalon lagi. Sulit memang mendeteksi tingkat kejujuran seseorang ketika dia akan mencalonkan diri sebagai pejabat, karena tidak ada alat yang mampu mengukurnya. 

Saya yakin para perempuan itu sebenarnya kuat dan mampu bangkit dari segala ketertindasan, hanya perlu dorongan dari kita untuk membantu mereka menemukan kembali keberdayaaan mereka. Perempuan tidak lemah, hanya saja ruang yang kita berikan pada mereka terlampau sempit dan bahkan terus diperkecil dan dipersulit. Mulailah dari sekitar kita, tegur temanmu yang masih melakukan catcalling, sadarkan mereka kalau itu adalah pelecehan dan tidak boleh dilakukan pada siapapun, berhenti melakukan victim blaming dan mulai percaya pada kekuatan kita sendiri bahwa kita mampu merubah keadaan.