Friday, September 22, 2017

Menyapa Gajah di Tangkahan, Sumatera Utara


Sumatera Utara punya banyak tempat wisata yang menarik. Tidak seperti Danau Toba, Brastagi, ataupun Bukit Lawang, objek wisata di Tangkahan mungkin terdengar asing. Padahal tempat ini cukup terkenal di kalangan wisatawan mancanegara, terlebih mereka yang berjiwa petualang, penyuka tantangan dan pencinta alam. Tangkahan merupakan sebuah tempat konservasi dan pelatihan gajah, terletak Desa Namo Sialang, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dan termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Perjalanan memakan waktu sekitar 4 jam dari Medan menggunakan kendaraan pribadi ataupun Bis. Disana kita bisa melihat atraksi gajah seperti memandikan gajah dan menaiki gajah. Selain itu, bagi yang menyukai tantangan bisa mencoba river tubing (selusur sungai dengan ban), trekking melewati hutan dan sungai dengan gajah ataupun berjalan kaki bersama pemandu. Saya mencoba river tubing dengan arus yang terbilang tenang dan cukup aman bila membawa anak. Air terasa dingin, jernih dan segar sekali, dengan pemandangan hutan di kanan kiri yang menakjubkan. Selama kurang lebih 30 menit, kami menepi dan dilanjutkan berjalan kaki sekitar 30 meter, sampailah kami di Air Terjun Pante Salak. Debit air tidak terlalu deras namun tetap menyejukkan mata. Setelah bermain air di air terjun, saya lanjut memandikan gajah ataupun melihat gajah-gajah lainnya menikmati makanan mereka. Disini juga terdapat Goa dan sumber air panas yang juga menarik untuk dikunjungi. Bila hendak menginap-mengingat perjalanan malam yang kurang penerangan saat melewati perkebunan sawit dan jalanan yang berbatu, terdapat beberapa penginapan yang relatif terjangkau sehingga tidak perlu khawatir bila datang terlalu sore. 




Tulisan saya ini dimuat di Sriwijaya Inflight Magazine edisi Februari 2017

Monday, September 18, 2017

Dhurga Maa, Kuil Indah di Pusat Kota Tangerang

Saya baru mengetahui kalo kota Tangerang punya kuil umat Hindu yang menarik untuk dikunjungi. Namanya Kuil Dhurga Maa. Masuknya tanpa biaya sama sekali, kita hanya perlu minta izin untuk masuk kepada petugasnya. Kuil Dhurga Maa terletak di Jalan Imam Bonjol, Gg. Bidong no 53 dan persis bersebelahan dengan Sungai Cisadane. Kuil ini dibangun oleh seorang pria keturunan India yang sudah lama tinggal di Medan bernama Pak Samin dan diresmikan pada tahun 2004. Kuil ini tidak hanya digunakan untuk tempat ibadah umat Hindu tapi juga tempat wisata yang sangat menarik. 

Dhurga Maa yang dalam ajaran Hindu dilambangkan oleh Dewi yang memiliki banyak tangan yang memegang senjata untuk menghancurkan kekuatan jahat dan pelindung moralitas. Sementara kendaraannya adalah macan atau singa. Hal yang membuat saya berdecak kagum adalah bentuk gapura bertingkat dengan berbagai ornamen patung Dewi Durga Maa dan singa ketika pertama kali memasuki area kuil. Gopuram (dalam bahasa Sanskrit yang berarti gapura) bertingkat ini yang biasanya dapat ditemukan di pintu gerbang kuil-kuil Hindu dari India Selatan.

Berbagai patung dewa dan lukisan menghiasi tembok-tembok kuil, juga terdapat banyak ornamen khas India yang unik. Untuk mengunjungi lokasi kuil ini terbilang mudah karena terletak di pusat kota Tangerang. Kita bisa menggunakan kendaraan pribadi dan umum atau juga menaiki perahu Sungai Cisadane untuk sekaligus berwisata susur Sungai Cisadane.



Tulisan ini dimuat di Sriwijaya Inflight Magazine edisi Juli 2017

Tulisan Traveling yang Nampang di Majalah

Entah darimana kepikiran untuk nyobain kontribusi tulisan traveling saya ke media. Mungkin karena sering naik pesawat, trus baca majalah inflight dan saya liat ada halaman yang khusus nampilin profil kontributor beserta fotonya, tampak sangat keren. Tertulis pula bahwa majalah itu menerima artikel/tulisan perjalanan dan saya pun lalu mencatat email yang tertera disana ke hp (saat itu saya mencatat redaksi Sriwijaya Inflight Magazine). Beberapa hari kemudian saya menulis perjalanan singkat saya ke Tangkahan, Sumatera Utara, yang baru saja saya lakukan bersama keluarga dan mengirimkannya ke email redaksi majalah. 2 minggu kemudian saya mendapat email balasan dari redaksi dan bilang kalo tulisan saya akan dimuat di majalah. Saya senang sekali dengan balasannya dan saya pun mengirim foto2 beresolusi besar kepada redaksi. Awal bulan saya mengecek majalah Sriwijaya Inflight secara online, dan benar saja tulisan saya (beserta foto) nampang disana. Dari sanalah saya makin bersemangat untuk menulis lebih panjang lagi. Selain itu, saya juga baca-baca gaya tulisan yang masuk ke media lainnya sebagai referensi menulis. Gak lama, saya kembali menuliskan artikel perjalanan saya ke Sabang, Aceh, ke redaksi majalah Sriwijaya, namun lebih panjang dari tulisan saya sebelumnya. Trus dapat balasan kalo akan dimuat di edisi berikutnya, rasa senang saya berlipat2 apalagi kali ini saya akan mendapat honor. Buat saya honor hanyalah bonus, diatas semua itu adalah rasa bangga kalo saya udah berani melampaui rasa takut dan minder diri kalo tulisan saya jelek, hehee.. Selain itu, saya juga bisa menyebarkan pesona Indonesia ke orang-orang, melalui tulisan saya. Saya pun mendapatkan kepuasan dan kesenangan tersendiri karena bisa menggabungkan 2 hal yang menjadi favorit saya yaitu jalan-jalan dan menulis.

Pada bulan Maret saya mendapat versi cetaknya yang dikirimkan oleh redaksi, yeay bahagia deh bisa liat tulisan sendiri dan foto selfie saya di dalamnya, hihi.. Tulisan saya mengenai Sabang bisa dibaca disini Sriwijaya Inflight Magazine Maret 2017




Bulan Juli lalu saya mengirim tulisan singkat mengenai kuil Durga Maa, Tangerang, ke Sriwijaya lagi dan kembali dimuat. Wohoo, bikin tambah semangat nulis dan saya pun mulai menulis di media lain seperti  koran dan majalah pesawat lainnya. Namun, sepertinya tidak dipublish karena ga dibalas2, it's okey, artinya saya mesti lebih giat menulis lagi dan lagi.